Rabu, 20 Agustus 2008

Gotama, Sang Buddha

Pendiri ajaran Buddha

Buddha Gotama, pendiri ajaran Buddha, hidup di bagian Utara India pada abad ke-6 SM. Nama pribadi-Nya adalah Siddhattha, Gotama adalah nama keluarga-Nya. Ia dipanggil 'Buddha' setelah Ia mencapai Pencerahan dan menyadari Kebenaran sejati. Buddha berarti 'Yang Tersadarkan' atau 'Yang Tercerahkan'. Secara umum Ia menyebut diri-Nya sendiri Tathagata, sementara pengikut-Nya memanggil-Nya Bhagava, 'Yang Terberkahi'. Ada pula yang menyebut-Nya Gotama atau Sakyamuni.

Ia terlahir sebagai seorang pangeran yang memiliki segalanya. Ia dibesarkan dengan segala kemewahan oleh keluarga-Nya yang kedua belah pihak merupakan keturunan ningrat murni. Ia adalah pewaris tahta, sangat tampan, mantap, agung, terberkahi dengan keindahan kulit yang luar biasa, dan penampakan yang bagus. Pada usia 16 tahun, Ia menikahi sepupu-Nya yang bernama Yasodhara, seorang yang juga anggun, tenang, dan bermartabat tinggi.

Di samping semua ini, Ia merasa terjebak di tengah-tengah kemewahan seperti seekor burung dalam sangkar emas. Selama kunjungan-Nya ke luar lingkungan istana, Ia menyaksikan hal yang disebut 'Empat Penampakan', yaitu orang tua, orang sakit, orang mati, dan pertapa suci. Saat Ia melihat hal-hal tersebut, satu demi satu, kesadaran datang pada-Nya bahwa: "Hidup akan menjadi uzur dan mati". Ia bertanya-tanya, "Dimanakah ada alam kehidupan yang tidak ada uzur maupun kematian?" Penampakan akan pertapa, yang tenang karena telah melepaskan nafsu hidup keduniawian, memberi-Nya isyarat bahwa langkah pertama dalam pencarian Kebenaran adalah meninggalkan hidup keduniawian. Ini berarti menyadari bahwa kepemilikan tidak dapat membawa kebahagian sejati yang didambakan orang.

Setelah bertekad untuk mencari jalan keluar dari penderitaan universal ini, Ia memutuskan untuk meninggalkan rumah untuk mencari 'obat', bukan hanya untuk diri-Nya sendiri, melainkan untuk seluruh umat manusia. Pada suatu malam, saat usia-Nya yang ke-29, Ia mengucapkan selamat tinggal pada istri dan anak-Nya yang tertidur, menunggang kuda putih-Nya menuju ke hutan.

Meninggalkan hidup keduniawian semacam ini belum pernah terjadi dalam sejarah. Ia pergi pada puncak usia muda, dari kesenangan menuju kesulitan: dari kemapanan materi menuju ketidakpastian: dari suatu status kekayaan dan kekuasaan menjadi petapa pengembara yang tinggal di gua dan hutan, dengan jubah kumal sebagai satu-satunya perlindungan terhadap terik matahari, hujan, dan angin musim dingin. Ia menolak posisi, kekayaan, janji kemuliaan dan kekuasaan, dan hidup yang penuh cinta dan kesenangan untuk pencarian Kebenaran yang sulit dan belum pernah ditemukan, walaupun telah dicari oleh banyak orang di India selama ribuan tahun.

Sepanjang 6 tahun, Ia bekerja untuk mencari Kebenaran. Kebenaran apa yang dicari-Nya? Untuk memahami sepenuhnya sifat kehidupan dan untuk menemukan kebahagiaan yang mutlak dan kekal. Ia belajar di bawah guru-guru terkemuka pada saat itu dan mempelajari segala hal yang bisa diajarkan oleh para guru tersebut. Setelah Ia menyadari bahwa mereka tidak bisa mengajarkan apa yang dicari-Nya, Ia memutuskan untuk menemukan Kebenaran melalui upaya-Nya sendiri. Ia bergabung dengan sekelompok petapa dan bersama-sama menyiksa tubuh dengan keyakinan jika tubuh dalam keadaan tersiksa maka jiwa akan terbebas dari penderitaan. Siddhattha adalah orang yang tangguh dan bertekad baja. Ia melebihi petapa-petapa lain dalam setiap praktik penyiksaan diri. Ia makan sangat sedikit sehingga saat Ia memegang kulit perut-Nya, Ia juga menyentuh tulang belakang-Nya. Ia memaksakan diri-Nya ke ambang batas yang tidak pernah dilakukan manusia. Akhirnya Ia menyadari kesia-siaan penghancuran diri, dan memutuskan untuk mempraktikkan Jalan Tengah.

Pada malam bulan purnama bulan Vesakha, Ia duduk di bawah pohon Bodhi di Gaya, memasuki meditasi yang mendalam. Saat itu pikiran-Nya menggejolakkan alam semesta dan menyadari sifat sejati semua kehidupan dan segala sesuatu. Pada usia 35 tahun, Ia berubah dari pencari Kebenaran yang tekun menjadi Sang Buddha, Yang Tercerahkan.

Selama hampir setengah abad setelah mencapai Pencerahan Sang Buddha berjalan di jalur berdebu di India mengajarkan Dhamma sehingga mereka yang mendengar dan menjalankannya bisa menjadi mulia dan terbebas. Ia mendirikan pesamuhan bhikkhu dan bhikkuni, menentang sistem kasta, meninggalkan status kaum wanita, mendorong kebebasan beragama dan pencarian bebas, membuka gerbang pembebasan untuk semua, dalam setiap kondisi kehidupan, tinggi atau rendah, suci atau hina, dan membawa kemuliaan hidup para penjahat seperti Angulimala dan pelacur seperti Ambapali. Ia membebaskan manusia dari perbudakan agama, dogma agama, dan iman buta.

Ia menjulang tinggi dalam kebijaksanaan dan intelektualitas. Setiap masalah ditelaah, diuraikan, dan disatukan kembali secara logis beserta penjelasannya. Tidak ada yang dapat mengalahkan-Nya dalam debat. Seorang guru yang tak tertandingi. Ia tetap merupakan analis pikiran dan fenomena terkemuka bahkan hingga saat ini. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Ia memberikan kekuatan bagi umat manusia untuk berpikir bagi dirinya sendiri, menjunjung nilai umat manusia, dan menunjukkan bahwa manusia dapat mencapai pengetahuan tertinggi dan Pencerahan sempurna dengan usahanya sendiri.

Ia mendorong orang untuk membuka pikiran mereka dan berpikir tanpa prasangka untuk mamahami kenyataan hidup dan alam semesta.

Sekalipun dengan kebijaksanaan yang tiada tara dan berasal dari keturunan ningrat, Ia tidak pernah meninggalkan orang-orang desa yang sederhana. Perbedaan kelas dan kasta tidak berarti bagi-Nya. Tak seorang pun terlalu remeh atau rendah bagi-Nya untuk ditolong. Banyak kali saat seorang buangan atau miskin datang pada-Nya, harga diri mereka kembali muncul dan berubah dari hidup yang nista menjadi mulia.

Sang Buddha penuh dengan belas kasih (karuna) dan kebijaksanaan (panna), bagaimana dan apa yang harus diajarkan kepada setiap individu sesuai dengan tingkat pemahaman masing-masing. Diketahui bahwa terkadang Ia berjalan jauh hanya demi menolong satu orang untuk menunjukkan padanya jalan yang benar.

Ia penuh kasih sayang dan memperhatikan murid-murid-Nya. selalu memantau kemajuan dan kesehatan mereka. Saat tinggal di petapaan , Ia sering mengunjungi orang sakit. Rasa belas kasih-Nya kepada orang sakit tercermin dari nasihat-Nya: "Ia yang mengunjungi orang sakit, berarti mengunjungi Saya." Sang Buddha menjaga peraturan dan disiplin berdasarkan rasa saling menghormati. Raja Pasenadi tidak dapat mengerti bagaimana Sang Buddha bisa mempertahankan peraturan dan disiplin semacam itu dalam komunitas petapa, sementara ia sebagai seorang raja dengan wewenang untuk menghukum, tidak dapat menjaganya sebaik itu dalam pemerintahannya. Metode Sang Buddha adalah membuat orang bertindak dari pemahaman dalam dirinya dan bukan membuat mereka bertindak dengan penerapan hukum dan ancaman hukuman.

Banyak kekuatan ajaib dikaitkan dengan-Nya, tetapi Ia tidak menganggap penting hal ini. Bagi-Nya, keajaiban terbesar adalah membabarkan Kebenaran dan membuat seseorang menyadarinya. Seorang guru dengan kasih yang mendalam, Ia tergerak oleh penderitaan dan bertekad membebaskan manusia dari bellenggu dengan suatu sistem berpikir dan jalan hidup yang rasional.

Sang Buddha tidak menyatakan telah 'menciptakan' dunia, fenomena semesta, atau hukum universal yang disebut 'Dhamma'. Walaupun digambarkan sebagai Lokavidu atau 'Yang Mengetahui Dunia'. Ia tidak dianggap sebagai sebagai penjaga tunggal universal. Ia dengan bebas menyatakan bahwa Dhamma, bersama dengan kerja semesta, adalah abadi, tidak mengenal waktu, tidak memiliki pencipta. Segala sesuatu yang terkondisi di dalam semesta adalah subjek dari bekerjanya Dhamma, Apa yang Sang Buddha lakukan (seperti semua Buddha-Buddha lain sebelum Beliau) adalah 'menemukan kembali' Kebenaran mutlak ini dan membabarkannya kepada umat manusia. Dalam menemukan Kebenaran itu, Ia juga menemukan jalan yang mana orang dapat membebaskan dirinya sendiri secara mutlak dari siklus terkondisi yang tiada akhir, yang selalu penuh dengan ketidakpuasan.

Setelah 45 tahun menjadi petapa, Sang Buddha wafat (mencapai Parinibbana) pada usia 80 tahun di Kusinara, meninggalkan banyak pengikut, bhikkhu dan bhikkhuni, dan warisan besar ajaran Dhamma. Dampak kasih dan pengabdian mulia-Nya tetap terasa hingga saat ini.

Dalam buku , Three Greatest Men in History, H.G. Wells menyatakan:

"Dalam diri Sang Buddha, Anda melihat dengan jelas seorang manusia, sederhana, bajik, seorang diri berjuang untuk Pencerahan, suatu pribadi yang penuh semangat, bukan suatu mitos. Ia juga membawa pesan universal kepada segenp umat manusia.Banyak gagasan modern terbaik yang sangat selaras dengan ajaran-Nya. Ajar-Nya, semua kesengsaraan dan ketidakpuasan hidup disebabkan oleh sifat mementingkan diri sendiri. Sebelum seseorang dapat menjadi tenang, ia harus menghentikan nafsu inderawinya terlebih dahulu, baru kemudian ia bisa menjadi orang besar. Ajaran Buddha, dalam bahasa yang lain, telah menghimbau manusia untuk tidak mementingkan diri sendiri 500 tahun sebelum Kristus. Dalam banyak hal Ia lebih dekat dengan kita dan kebutuhan kita. Ia lebih jelas dibanding Kristus mengenai pentingnya seseorang untuk melayani dan lebih tidak mendua arti terhadap pertanyaan tentang keabadian personal."

Sumber : Sri Dhammananda

Tidak ada komentar: