Rabu, 27 Agustus 2008

Mengapa Kita Bernaung Kepada Buddha?

Umat Buddha bernaung kepada Buddha untuk memperoleh inspirasi dan pemahaman benar untuk pemurnian diri, untuk memperkuat keyakinan akan Sang Buddha, dan untuk mengingat Sang Buddha dalam pikiran mereka.

Umat Buddha tidak bernaung kepada Buddha dengan kepercayaan bahwa Ia adalah Tuhan atau anak Tuhan. Sang Buddha tidak pernah menyatakan keilahian apa pun. Ia adalah Yang Tercerahkan, Yang Welas Asih, Yang Bijaksana, dan Yang Ariya yang pernah hidup di dunia ini. Orang bernaung kepada Buddha sebagai seorang guru yang telah menunjukkan jalan pembebasan sejati. Mereka menghormati-Nya untuk menunjukkan rasa terima kasih dan hormat, tetapi mereka tidak meminta pertolongan meterial. umat Buddha tidak berdoa pada Sang Buddha dengan berpikir bahwa Ia adalah Tuhan yang akan menghadiahi mereka atau menghukum mereka. Mereka menguncarkan ayat atau Sutta bukan untuk memohon, tetapi untuk mengingat nilai-nilai luhur dan sifat-sifat baik-Nya untuk mendapat inspirasi dan bimbingan bagi mereka sendiri dan mengembangkan kepercayaan diri untuk mengikuti ajaran-Nya sehingga mereka juga bisa menjadi seperti-Nya. Ada kritik yang mengecam sikap bernaung kepada Sang Buddha semacam ini. Mereka tidak mengetahui arti sebenarnya dari konsep bernaung dan menghormati seorang guru religius besar. Mereka hanya telah belajar tentang berdoa yang merupakan satu-satunya hal yang dilakukan orang dalam nama agama. Jika seorang umat Buddha mencari pernaungan, hal itu berarti mereka menerima Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha sebagai cara untuk memusnahkan semua penyebab ketakutan dan gangguan mental lainnya. Banyak orang, khususnya mereka dengan kepercayaan animisme, mencari perlindungan pada objek-objek tertentu di sekitar mereka yang mereka percayai dihuni roh-roh. Umat Buddha, bagaimanapun tahu bahwa satu-satunya pernaungan yang dapat mereka peroleh adalah melalui pemahaman sempurna akan sifat mereka sendiri dan menghapuskan naluri dasar mereka. Untuk melakukan hal ini, mereka meyakini ajaran Buddha dan jalan-Nya, karena ini satu-satunya cara menuju pembebasan sejati dan kebebasan dari penderitaan.

Sang Buddha menasihatkan sia-sianya berlindung pada bukit, kayu, belukar, pohon, dan kuil yang angker. Tidak ada pernaungan semacam itu yang aman, tidak ada perlindungan semacam itu yang tertinggi. tidak dengan mengambil perlindungan semacam itu orang bebas dari semua penyakit. Orang yang berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Sangha melihat dengan pengetahuan benar tentang Empat Kebenaran Ariya-penderitaan, sebab penderitaan, akhir penderitaan, dan Jalan Ariya Beruas Delapan yang menuju pada akhir penderitaan. Hal ini tentu saja merupakan perlindungan yang aman. Dengan mencari perlindungan semacam itu, seorang terbebaskan dari semua Penderitaan. (Dhammapada 188-192)

Dalam Dhajagga Sutta, disebutkan bahwa dengan berlindung dalam Sakka, raja para dewa atau dewa apa pun, para pengikut tidak akan bebas dari semua masalah duniawi dan ketakutan mereka. Alasannya adalah, dewa semacam itu sendiri tidak bebas dari nafsu, kebencian, ilusi, dan ketakutan, tetapi Sang Buddha, Dhamma, Dan Sangha bebas dari hal-hal itu. Hanya mereka yang bebas dari ketidakpuasan dapat menunjukkan jalan menuju kebahagian abadi.

Francis Story, seorang pelajar Buddhis terkenal, memberikan pandangannya tentang mencari pernaungan kepada Buddha. "Aku bernaung kepada Buddha. Aku mencari kehadiran Guru Agung yang dengan welas asih-Nya aku dapat terbimbing melalui arus Samsara, dengan raut muka ketenangan-Nya aku dapat terangkat dari lumpur pikiran dan nafsu duniawi, melihat dengan sangat pasti kedamaian Nibbana, yang dicapai-Nya sendiri. Dalam kesedihan dan kesakitan aku berpaling kepada-Nya dan dalam kebahagiaanku aku mencari pandangan tenang-Nya. Aku bukan hanya menaruh bunga dan dupa di hadapan citra-Nya, tetapi juga nyala hatiku yang gelisah, agar dipadamkan dan ditenagkan. Aku meletakkan beban kesombongan dan keegoisanku, beban berat perhatian dan cita-citaku, beban letih dari kelahiran dan kematian yang tak kunjung henti ini."

Sri Rama Chandra Bharati, seorang penyair India, memberikan penjelasan penuh arti lainnya tentang bernaung kepada Buddha.

"Aku tidak mencari pernaunganmu demi perolehan,
Bukan karena takut padamu, bukan juga karena cinta akan ketenaran,
Bukan karena kau yang tertinggi di dunia matahari,
Bukan demi mendapatkan banyak pengetahuan,
Tetapi ditarik oleh kekuatan cinta tanpa batas,
Dan kesadaran tiada banding yang mencakup semua,
Lautan Samsara yang luas aman untuk diseberangi,
Aku membungkuk dalam, O Tuan, dan menjadi pengikut-Mu."

Beberapa orang berkata bahwa karena Sang Buddha hanyalah seorang manusia, maka tidak ada artinya bernaung kepada-Nya. Tetapi mereka tidak tahu bahwa walaupun Sang Buddha dengan sangat jelas berkata bahwa Ia adalah manusia, Ia bukanlah manusia biasa seperti kita. Ia adalah seorang suci yang luar biasa dan tiada banding yang memiliki Pencerahan Tertinggi dan welas asih yang besar terhadap semua makhluk hidup. Ia adalah seorang manusia yang bebas dari semua kelemahan, kekotoran, dan bahkan dari emosi manusia biasa. Telah dikatakan tentang Dia, "Tidak sedikitpun kehinaan dalam diri Sang Buddha, tidak seorang pun yang semulia Sang Buddha." Dalam Sang Buddha terwujud semua nilai-nilai luhur kesucian, kebijaksanaan, dan Pencerahan.

Pertanyaan lain yang sangat sering diajukan adalah: "Jika Sang Buddha bukanlah Tuhan, jika Ia tidak hidup di dunia saat ini, bagaimana Ia dapat memberkahi orang?" Menurut Sang Buddha, jika orang mengikuti nasihat-Nya dengan menjalankan kehidupan religius, mereka tentu akan menerima berkah. Berkah dalam ajaran Buddha berarti kegembiraan yang kita alami jika kita mengembangkan kepercayaan diri dan rasa kecukupan. Sang Buddha pernah berkata, "Jika seseorang ingin bertemu Aku, ia harus mencari dalam ajaran-Ku dan mempraktikkannya" (Samyutta Nikaya). Mereka yang memahami ajaran-Nya dengan mudah melihat sifat sejati Sang Buddha tergambar dalam diri mereka sendiri. Citra Sang Buddha yang mereka pelihara dalam pikiran mereka lebih nyata daripada citra yang mereka lihat di atas altar, yang semata-mata simbol. Mereka yang hidup sesuai dengan Dhamma itu sendiri (Theragatha). Seseorang hidup melalui Dhamma tidak akan takut dan hidup secara harmonis.

Dalam agama lain orang memuja Tuhan mereka dengan memohon sesuatu dianugerahkan pada mereka. Umat Buddha tidak memuja Sang Buddha untuk meminta permohonan duniawi, tetapi mereka menghormati-Nya untuk pencapaian tertinggi-Nya, Jika umat Buddha menghormati Sang Buddha, mereka secara tidak langsung mengangkat pikiran mereka sendiri sehingga suatu hari mereka juga dapat mencapai Pencerahan yang sama untuk melayani semua makhluk. Karena Sang Buddha pernah jadi seorang manusia, pengalaman dan pencapaian-Nya ada dalam jangkauan semua manusia. Ajaran Buddha itu untuk kita semua, dan tentunya tidak berada di luar kemampuan kita sebagai makhluk hidup biasa.

Umat Buddha menghormati Sang Buddha sebagai guru mereka. Bagaimanapun, rasa hormat ini tidak berarti kemelekatan atau ketergantungan pada guru tersebut. Jenis hormat ini sesuai dengan ajaran-Nya sendiri sebagai berikut:

"Bhikkhu, sekalipun jika seorang bhikkhu memegang ujung jubah-Ku dan berjalan dekat di belakangku, langkah demi langkah, tetapi jika ia iri hati, sangat melekat dengan kesenangan inderawi, dengki dalam pikiran, berpikir dan bertujuan tidak jujur, beringatan salah, tidak memperhatikan dan tidak kontemplatif, berotak kacau, kemampuan inderanya tak terkendali, maka ia jauh dari-Ku dan Aku jauh darinya."

"Bhikkhu, sekalipun jika bhikkhu itu berada seratus mil jauhnya, tetapi ia tidak iri hati, tidak melekat pada kesenagan inderawi, tidak dengki dalam pikiran, tidak berpikiran dan bertujuan tidak jujur, kokoh dalam ingatan, penuh perhatian, kontemplatif, pikirannya terpusat, kemampuan inderawinya terkendali, maka ia dekat dengan-Ku dan Aku dekat dengannya."

(Samyutta Nikaya)

Sumber : Sri Dhammananda

Tidak ada komentar: